E-Government berfokus pada aspek yang berhubungan
dengan kerjasama antara sektor publik dan warga negara, dan di antara warga
negara, serta dukungan untuk kerjasama dengan informasi modern dengan
menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Secara garis besar, hal
itu juga berlaku untuk E-Democracy. Pada
dasarnya, warga perlu dapat mengakses informasi dan untuk membahas masalah
politik, dan untuk memilih secara elektronik. Lalu apa yang membedakan E-Government dengan E-Democracy?
Secara garis besar, yang membedakan E-Government
dengan E-Democracy dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. E-Government dan E-Democracy
e-democracy
|
e-government
|
|
External |
||
G2C: Government to Citizen
|
X
|
X
|
G2B: Government to Business
|
X
|
|
Internal
|
||
G2G: Government to Government
|
X
|
Kesadaran masyarakat dan keinginan akan
demokrasi elektronik (E-Democracy)
telah ada selama bertahun-tahun. Seperti ditulis oleh Piller pada tahun 1994
yang dikutip oleh Tom Gross mengatakan, pada awal tahun 1994 majalah MacWorld mensurvei 600 orang dewasa yang
dipilih secara acak dan menemukan bahwa lebih dari separuh responden mengatakan
bahwa pemilu online adalah layanan yang paling diinginkan dalam pemilihan umum,
dan 60% responden memiliki minat yang sedang atau kuat untuk berpartisipasi
dalam pemilu online, dan juga hampir 60% menyukai untuk mengambil bagian secara
interaktif melalui media elektronik, dan bahwa hampir setengah dari responden
ingin memiliki kontak dan layanan secara elektronik untuk wakil-wakil terpilih
(Gross, 2002).
Untuk ikut berpartisipasi aktif dalam
proses demokrasi, warga memerlukan berbagai jenis informasi. Mereka membutuhkan
informasi yang berkaitan dengan pemilu. Selain itu, mereka membutuhkan
informasi tentang kemungkinan keterlibatan mereka sendiri dalam diskusi
kebijakan dan pengambilan keputusan. Selanjutnya, para pengguna informasi
tersebut harus mampu menghubungkan bagian mereka dan pandangan mereka untuk
sebuah masalah, dan hal ini memungkinkan mereka untuk mempertimbangkan
perspektif alternatif tentang tiap-tiap masalah yang muncul (Gross, 2002).
Hubungan langsung masyarakat akan akses
informasi secara administratif dan kemungkinan warga negara untuk mengambil
bagian di dalamnya adalah kebutuhan utama untuk E-Democracy. Hubungan dengan wakil rakyat secara langsung adalah
arah yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan mewujudkan E-Democracy seperti yang digambarkan pada gambar 1.
Gambar 1 Akses publik terhadap informasi dari sistem
politik administratif
Akan tetapi, muncul pertanyaan baru, yaitu
apabila yang terdapat hanya hubungan antara masyarakat dengan wakil rakyat,
maka hal tersebut belum tentu bisa disebut sebagai demokrasi. Yang disebut
sebagai demokrasi adalah apabila sesama warga dapat saling berinteraksi dan
juga terhadap para wakil rakyat, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2 Akses antara warga terhadap informasi dari
sistem politik administratif
E-Voting
Indonesia sedang menggalakkan E-KTP yang
tujuannya adalah untuk memaksimalkan layanan pemerintah kepada masyarakat.
E-KTP dapat juga diintegrasikan dengan konsep E-Voting atau E-Democracy
dan salah satu tujuan untuk memenuhi visi E-Governance
adalah kebutuhan untuk berkolaborasi dan mengintegrasikan informasi di berbagai
departemen, masyarakat dan pemerintah. Pada saat ini E-KTP yang sedang
dikembangkan adalah suatu cara komunikasi elektronik yang memungkinkan untuk
mengotentikasi pemilih pada tingkat keamanan yang maksimum, memungkinkan untuk
memberikan tanda tangan digital dan tidak membutuhkan kartu pemilih, dan sudah
barang tentu pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk mencetak kartu
pemilih bagi masyarakat indonesia. Dan dengan menggunakan KTP Elektronik, satu
orang hanya bisa satu kali dalam memilih karena data dan detail mengenai orang
itu telah terekam di database yang terintegrasi di seluruh negeri (Canard, 2001).
Konsep Umum E-Voting
Konsep E-Voting
memiliki alur dan logika yang sama seperti konsep pemilihan umum konvensional
yaitu:
1. Pemilih mendaftarkan dirinya untuk
melakukan pemilihan pada komisi pemungutan suara.
2. Pemilih mengisi surat suara dan
meletakkannya ke dalam kotak suara.
3. Kertas suara dimasukkan ke dalam kotak
suara sesuai dengan spesifikasinya.
4. Penghitungan suara dan verifikasi.
Dengan menggunakan E-KTP, maka sistem
verifikasi pemilihan dapat dilakukan dengan cara:
1. Pemilih mendaftarkan diri ke TPS dengan
cara menunjukkan E-KTP.
2. Petugas men-verifikasi data pemilih sesuai
dengan identitas yang terdapat pada E-KTP dengan mencocokkan sidik jari atau
dengan sensor retina mata (www.semarangkab.go.id).
3. Data pemilih masuk ke dalam sistem basis data dan
setelah itu masuk ke dalam bilik suara dan melakukan voting/pemilihan.
Dengan proses flow
dapat diilustrasikan seperti yang terlihat pada gambar 3
Gambar 3 Alur proses pemilihan E-Voting (Sharil Tumin and Sylvia Encheva,
2009).
Teknologi Pendukung
Sharil Tumin dan Sylvia Encheva dalam penelitiannya
mengusulkan sebuah sistem kriptografi modern dalam proses E-Voting, yaitu mengusulkan penggunaan alat kriptografi yang
terkenal dan banyak digunakan, diantaranya
adalah:
1. Enkripsi simetris yang diterapkan dalam
enkripsi Blowfish yang ditunjukkan pada gambar 4.
2. Enkripsi asimetris yang diimplementasikan
dalam kriptografi RSA publik key yang ditunjukkan pada gambar 5. (Sharil and Encheva, 2009).
Enkripsi Simetris:
Gambar 4 Enkripsi Simetris
Dengan menggunakan secret key tunggal, skema enkripsi simetris lebih mudah dan lebih
cepat di eksekusi dari skema enkripsi asimetris, namun masih ada terdapat
kelemahan pada sistem ini. Sebagai contoh misalnya jika Ali dan Badu memiliki
sebuah portal rahasia dan menggunakan skema simetris, maka Ali dan Badu harus
memiliki satu kunci untuk dipakai berdua yang mereka rahasiakan. Demikian juga
halnya apabila Badu dan Charlie memiliki sebuah portal rahasia lagi, maka
mereka akan membuat satu kunci yang dibagi berdua, dimana dalam hal ini Badu
bahkan tidak memiliki satu buah kunci pun untuk disimpan karena semua kunci
telah disimpan secara rahasia yang akan diambil hanya jika ingin dipakai untuk
fungsi yang berbeda.
Enkripsi Asimetris:
Skema enkripsi asimetris adalah algoritma
yang menggunakan kunci yang berbeda untuk proses enkripsi dan dekripsinya.
Skema ini disebut juga sebagai sistem kriptografi kunci publik karena kunci
untuk enkripsi dibuat untuk diketahui oleh umum (public-key) atau dapat diketahui siapa saja, tapi untuk proses
dekripsinya hanya dapat dilakukan oleh yang berwenang yang memiliki kunci
rahasia untuk mendekripsinya, yang disebut sebagai private-key. Misalnya Ali memiliki satu buah kunci untuk
berkomunikasi dengan Badu, dan Badu memiliki duplikatnya, dan demikian juga
antara Badu dan Charlie, dan Badu dengan Diana. Badu bahkan menyimpan tiga buah
kunci yang berbeda yang akan digunakan untuk kepentingan dan keperluan yang
berbeda pada tiap-tiap orang yang berbeda pula. Dalam hal ini, badu Bahkan
memiliki tiga buah kunci yang disimpan secara private. Untuk algoritma dan
alurnya dapat dilihat pada gambar 2.9.
Gambar 5 Enkripsi Asimetris
Namun tampaknya untuk skala nasional dan
pengaplikasiannya pada Komisi Pemilihan Umum, masih perlu untuk mengembangkan
dan menambah studi literatur untuk konsep kriptografi modern dan aplikasi serta
teknologi pendukung yang dapat dipakai dan terus dikembangkan.
Analisis kebutuhan untuk Arsitektur
Teknologi Sistem Keamanan Administrasi Pemilihan yang dikemukakan oleh The National e-Governance Plan
(NeGP) of the Government of India
membuat sebuah analisis kebutuhan basis data relasional yang terintegrasi untuk
menghindari duplikasi data pada sistem yang saling terkoneksi. Untuk
pengembangan secara teknis, dibutuhkan IT
Strategic Planning yang konsisten baik dari sisi keamanan dan pertukaran
data ataupun untuk keamanan data yang sudah tersimpan dalam struktur basis
data. Perbedaan yang signifikan dapat dilihat dari ilustrasi gambar 6
mengenai konesp integrasi data yang dinamakan dengan The National eGovernance Service Delivery Gateway (NSDG) (http://www.csi-sigegov.org/E-Governence/e_Governance.pdf)
Gambar 6
The National eGovernance Service Delivery Gateway (NSDG)
Technology Acceptance Model
Model penerimaan teknologi atau Technology Acceptance Model (TAM) menentukan
hubungan sebab akibat antara fitur desain sistem, kegunaan yang dirasakan,
persepsi kemudahan penggunaan, sikap pengguna terhadap penggunaan, dan
perilaku aktual pengguna. Secara
keseluruhan, Technology Acceptance Model (TAM)
menyediakan representasi mekanisme informatif yang menyediakan pilihan desain
yang dapat mempengaruhi penerimaan dari pengguna. Oleh karenanya harus mengacu
kepada konteks penerapan untuk meramalkan dan mengevaluasi penerimaan pengguna
teknologi informasi itu sendiri.
Model dasar TAM terdiri dari tingkatan
penerimaan pengguna teknologi yang ditentukan oleh enam faktor, yaitu variabel
luar (External variable), persepsi
pengguna terhadap kemudahan dalam menggunakan teknologi (Perceived Usefulness), sikap pengguna terhadap penggunaan teknologi
(Attitude Toward Using),
kecenderungan perilaku (Behavioral Intention),
dan pemakaian aktual (Actual Usage).
Model Penerimaan Teknologi dapat juga diibaratkan sebagai teori dan model dari
sistem informasi yang melihat bagaimana pengguna akan menerima dan menggunakan
teknologi.
Model ini menunjukkan bahwa ketika pengguna
disajikan dengan teknologi baru, sejumlah faktor mempengaruhi keputusan mereka
tentang bagaimana dan kapan mereka akan menggunakannya (Perceived usefulness dan Perceived
ease-of-use) (http://en.wikipedia.org). Technology
Acceptance Model pertama kali dikembangkan oleh Davis pada tahun 1989
dengan alur seperti gambar 7.
No comments:
Post a Comment